Perlintasan Sebidang

Jalan perlintasan adalah perpotongan sebidang antara jalur rel yang dipergunakan untuk perjalanan kereta api dengan jalur yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan jalan raya.

Jenis perlintasan secara hukum dibagi atas 2 jenis yaitu :

  • Perlintasan resmi adalah perlintasan sebidang yang keberadaannya telah memiliki syarat-syarat dan ketentuan hukum sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.
  • Perlintasan tidak resmi adalah perlintasan sebidang yang keberadaannya belum / tidak memiliki syarat-syarat dan ketentuan hukum sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.

UU Nomor 23 Tahun 2007

Pasal 91

  1. Perpotongan antara jalur kereta api dan jalan dibuat tidak sebidang.

  2. Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan tetap menjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api dan lalu lintas jalan.

Pasal 92

  1. Pembangunan jalan, (  ……..   dst) sebagaimana dimaksud dalam pasal 91 ayat (2) harus dilaksanakan dengan ketentuan untuk kepentingan umum dan tidak membahayakan keselamatan perjalanan kereta api.

  2. Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat ijin dari pemilik prasarana perkeretaapian.

  3. Pembangunan, pengoperasian, perawatan dan keselamatan perpotongan jalur kereta api dan jalan menjadi tanggung jawab pemegang ijin.

Pasal 93

Pemanfaatan tanah pada ruang milik jalur kereta api untuk perpotongan atau persinggungan dikenakan biaya oleh pemilik prasarana perkeretaapian.

Jalan perlintasan dipandang dari sudut pengamanan dibagi atas 3 jenis, yaitu :

  • Perlintasan dijaga dilengkapi rambu-rambu lalu lintas dan alat bantu pengamanan berupa peralatan “elektrik manual operated” yang dioperasikan oleh seorang pegawai yang ditunjuk, memenuhi syarat untuk melakukan pekerjaan tersebut serta memiliki tanda kecakapan.
  • Perlintasan tidak dijaga dilengkapi dengan rambu-rambu lalu lintas dan alat bantu pengamanan berupa peralatan “elektrik automatic operated” atau “automatic train warning”. Peralatan tersebut bekerja secara aotomatis berdasarkan posisi kereta api yang akan melintas sehingga tidak diperlukan pegawai yang mengoperasikannya.
  • Perlintasan tidak dijaga dan dilengkapi rambu-rambu lalu lintas namun tidak dilengkapi alat bantu pengamanan jenis apapun.
  • Perlintasan tidak dijaga, tidak dilengkapi rambu-rambu lalu lintas dan tidak dilengkapi alat bantu pengamanan jenis apapun.

Saat ini terdapat beberapa jenis pintu perlintasan dipandang dari 2 sudut tersebut, yaitu :

  1. Perlintasan resmi, dijaga dan dilengkapi rambu dan alat bantu pengamanan
  2. Perlintasan resmi, tidak dijaga namun dilengkapi rambu dan alat bantu pengamanan
  3. Perlintasan tidak resmi, tidak dijaga dilengkapi rambu dan alat bantu pengamanan
  4. Perlintasan tidak resmi, tidak dijaga, dilengkapi rambu namun tidak dilengkapi alat bantu pengamanan
  5. Perlintasan tidak resmi, tidak dijaga, tidak dilengkapi rambu dan tidak dilengkapi alat bantu pengamanan biasanya disebut perlintasan liar

Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian pada pasal 94 disebutkan pintu perlintasan tidak resmi atau yang tidak memiliki ijin harus ditutup oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Perlintasan dimaksud adalah jenis pintu perlintasan yang disebutkan dalam poin 3, 4 dan 5 tersebut di atas, namum sejak UU tersebut diundangkan dan diberlakukan belum satupun perlintasan tidak resmi yang ditutup oleh Pemerintah atau pemerintah Daerah.

UU Nomor 23 Tahun 2007

Pasal 94

  1. Untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan, perlintasan sebidang yang tidak mempunyai ijin harus ditutup.
  2. Penutupan perlintasan sebidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

PT KA pernah melakukan inisiatif untuk melakukan penutupan beberapa perlintasan yang tidak memiliki ijin dan dianggap rawan kecelakaan, namun selalu mendapat protes dari masyarakat sekitar perlintasan tersebut dengan alasan menghambat akses jalan pintas. Pagar batas yang susah payah dibangun untuk mem-blok agar kendaraan jalan raya tidak melintas dibongkar kembali oleh masyarakat. Bahkan pernah terjadi protes ini didukung oleh aparat desa setempat karena belum memahami pasal-pasal yang diamanatkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2007.

Jika kemudian terjadi kecelakaan yang terjadi di titik perlintasan tersebut maka masyakat umumnya menyalahkan PT KA karena tidak menyediakan penjaga, melengkapi rambu dan memasang alat bantu pengamanan. Biasanya PT KA lebih sering berada di pihak yang disalahkan dan dikalahkan.

Penerapan pasal 124 dari UU 23 Tahun 2007 yang berbunyi

“Pada perpotongan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pemakai jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api”

seakan-akan tidak berjalan. Seharusnya pengendara jalan raya harus memastikan dan jika perlu berhenti sebentar untuk memastikan apakah pada saat yang bersamaan ada kereta api yang akan lewat. Jika pada saat bersamaan itu ada kereta api yang akan lewat maka kendaraan harus menunggu hingga kereta api lewat terlebih dulu.

Upaya memastikan atau berhenti sebentar untuk memastikan kereta api akan lewat tersebut menjadi kewajiban pengendara jalan raya untuk keselamatan jiwanya sendiri dan orang lain yang menjadi tanggung jawabnya saat itu, baik pada perlintasan dijaga maupun tidak dijaga. Penjaga perlintasan tidak memiliki kewajiban dan tanggung jawab menjaga keselamatan pengendara jalan raya, namun hanya berkewajiban serta bertanggung jawab atas keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api. Alat bantu pengamanan yang dipasang pada perlintasan dimaksudkan untuk menjaga keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api dari kemungkinan terjadinya kecelakaan di perlintasan.

Pada prinsipnya jika pada suatu titik di sepanjang jalur jalan rel dimana dianggap bahwa titik tersebut tidak berpotensi menimbulkan kecelakaan yang mengganggu keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api maka di titik tersebut tidak perlu ditempatkan pegawai untuk menjaganya. Menempatkan pegawai pada suatu titik artinya menambah pengeluaran biaya untuk menggaji pegawai tersebut sedangkan pegawai yang ditempatkan pada suatu tempat dimana tugas pokok yang bersangkutan tidak berkaitan dengan misi dan tugas utama perusahaan adalah suatu pemborosan.

Perlintasan sebidang tidak hanya merupakan titik rawan kecelakaan bagi kereta api tetapi merupakan titik rawan kecelakaan jalan raya maka keselamatan, keamanan dan kelancaran di perlintasan seharusnya menjadi kewajiban tanggung jawab instansi-instansi terkait lainnya antara lain Kepolisian, Dinas Perhubungan setempat atau Walikota / Bupati setempat untuk hal-hal yang berkaitan dengan tugas pokoknya masing-masing. Penanganan keselamatan di perlintasan sebidang memang sudah saatnya ditangani bersama untuk mencari solusi terbaik yang dapat dilakukan, bukan bertindak “cuci tangan” dan saling melempar tanggung jawab ketika kecelakaan terjadi di perlintasan sebidang.

Peraturan tentang tanggung jawab keselamatan di perlintasan sebidang sudah semakin jelas maka saatnya dibutuhkan “legowo” dan “willing” untuk duduk bersama membahas tugas masing-masing pihak demi keselamatan pengguna jasa kereta api dan pengguna jasa jalan raya serta masyarakat pada umumnya.


JUMLAH KUNJUNGAN

  • 44.923 hits

KATEGORI ARTIKEL

9802 UMUM WARTA

GALERI FOTO DI FLICKR